Tuesday 25 April 2017

Solo Ride: Bersepeda tanpa GPS di Kutoarjo, 25 Des 2016.

Entahlah, mungkin karena sudah terlanjur suka bersepeda maka ketika pulang ke rumah mertua bareng anak istri, tidak lupa sepeda kesayangan satu-satunya turut serta dibawa.

Minggu pagi, saya keluarkan sepeda untuk memulai perjalanan keliling Kutoarjo. Namun rupanya saya kurang beruntung. Smartphone yang biasa dipakai untuk bersepeda mengalami gangguan cuaca di softwarenya, jadinya 'persenjataan' dari GPS, Strava dan Google Maps pun tidak bisa diakses. Tetapi untungnya saya membawa hp jadul untuk cadangan, setidaknya masih bisa foto-foto untuk mengisi blog yang sedang Anda baca ini.

Okay.. Kayuhan pertama adalah menuju alun-alun Kutoarjo. Di sana saya mengambil foto di depan giant lettering Purworejo - Kutoarjo. Karena ini adalah landmark Kutoarjo maka wajib untuk mengabadikan timeline kehidupan pergowesan saya di sini.

Okay, I was here...

Kemudian saya bergerak ke utara menuju ke sebuah menara air. Sebenarnya ingin juga berfoto persis di bawah menara ini, tetapi setelah muter-muter mencari pintu masuk kok ngga nemu juga, semua pagar masih tertutup, yo wis, batal deh...

Sepeda pun bergerak semakin ke utara melewati Jalan Marditomo hingga ketemu Jalan Letjen S. Parman. Kemudian belok kiri hingga sampai kira-kira di dekat SDN 2 Kutoarjo, saya bertemu om saya, Lik Trimo. Beliau saya ajak gowes bareng agar ada yang menemani, tetapi rupaya Lik Trimo sedang siap-siap mau berangkat luar kota, yo wis, batal deh...

Dari situ saya terus melaju seorang diri tanpa teman menemani hingga sampai di perempatan BRI Kutoarjo. Saya mengambil arah menuju Stasiun Kutoarjo. Sampai di lingkungan stasiun, saya pun memotret kembali. Jepret! Jepret! Jepret! Cakeeeeeep..... Berapa, Bang?

Nunggu sepur, Lur...

Setelah stasiun itu, saya melaju ke selatan melewati jalan Grabag-Kutoarjo. Tujuannya adalah belok kiri melewati Jalan Sangubanyu. Kenapa memilih Jalan Sangubanyu? Tidak ada alasan pasti, cuma pingin saja lewat situ. Ternyata pilihan ini tidak salah, sepanjang jalan ini bisa dibilang jarang dilewati kendaraan bermotor, apalagi ditambah banyaknya barisan pohon di kanan-kiri jalan, plus kontur jalannya yang cenderung datar dan panjang. Semuanya itu sangat memanjakan goweser. Tidak lupa beberapa kali saya berhenti untuk memotret obyek-obyek yang sekiranya menarik.

Kira-kira seperti inilah kondisi Jalan Sangubanyu. Relatif sepi, datar dan panjang.

Rehat sebentar di depan salah satu kantor kepala desa.

Lalu kaki pun kembali menapak pedal dan melajukan sepeda sampai di satu perempatan kecil yang saya tidak tahu itu di mana. Di situ saya belok kiri melewati persawahan luas yang jarang ditumbuhi pohon di tepi jalan, hingga sinar matahari pun sangat leluasa menerpa. Sambil tetap menggowes, saya amati bayangan tubuh yang jatuh ke Bumi, dan kalau dipikir maka seharusnya saya bergerak ke utara. Maklum, handphone jadul yang saya bawa tidak support GPS, jadinya ilmu bayangan lah sebagai penggantinya.

Ini lho perempatan kecil yang saya maksud.

Di sini saya belok kiri.

Dan ini ilmu bayangan yang saya ceritakan.

Rupanya saya tengah melewati jalan Ngombol-Purworejo. Dan tanpa sadar saya tersesat terlalu jauh. Padahal rencana semula hanya cukup sampai di daerah Bayan saja, rupanya ini sudah masuk wilayah Purworejo, kalau tidak salah...

Saya nyasar sampai sini.

Tapi yo wis lah, masa gitu aja ciut nyali.. Oke, saya pun mantap mengarahkan sepeda ke utara yang entah nanti akan sampai di mana, perkiraan saya harusnya ketemu jalan raya Purworejo - Kutoarjo. Apakah perjalanan ini akan gagal? Apakah akan tersesat lagi?

Sampai sini saya mulai merasa bosan dengan perjalanan ini. Di mana sebelumnya kondisi jalan yang sepi terasa menyenangkan, tetapi sekarang malah menjadi bumerang. Ternyata terlalu lama nyepeda sendirian bisa bikin bad mood juga.. Apa lagi perut mulai menunjukkan gejala lapar, dan tenggorokan pun ikut-ikutan merasa kering. Mana ngga ada warung lagi.

Makin jauh menggowes makin hilang harapan ketemu warung. Eh, tapi ndilalah Allah SWT rupanya punya rencana lain. Di sepanjang jalan yang panas tadi saya tidak menemukan warung, lha ini begitu masuk ke satu kampung yang teduh kok malah ada warung. Kan asyik tuh ngaso di warung sambil ngadem. Yess, dengan gagah berani saya memarkir sepeda di depan warung itu, saya langkahkan kaki ke dalam dan dengan nada optimis saya ungkapkan: "Mbak, minta teh anget manis satu."

Akhirnya ketemu warung juga.

Segelas teh anget manis dan beberapa tahu goreng sebagai pengganti energi yang terbuang.

Setelah terasa bugar, maka perjalanan ini kembali dilanjutkan. Eh, rupanya dari warung itu tidak lama kemudian saya mendapati keramaian seperti pasar tiban, dan tentu saja banyak penjual makanan dan minuman. Owalah....

Dan, masih di sekitar lokasi itu terdapat perlintasan kereta api. Saya pun sengaja berhenti untuk memotret kereta yang lewat. Maklumlah, di tempat tinggal saya kan sudah ngga ada sepur. Sambil menunggu sepur lewat, saya pun sok akrab ngobrol dengan penjaga perlintasan kereta, yang saya lupa siapa namanya. Maaf ya mas...

Ngaso lagi di pos perlintasan kereta api Sendangsari, Purworejo.

Alamak, saya kurang pas timing motretnya, lokomotifnya tidak kejepret!

Mas penjaga perlintasan memberi arah menuju Purworejo. Saya lantas melanjutkan petualangan ini melewati Jalan Banyuurip - Purworejo sesuai petunjuk si mas itu. Jalan ini kalau dilihat di peta ternyata tidak begitu jauh hingga sampai di Purworejo. Tetapi entah karena saya yang sudah lelah atau memang tidak tahu medan jadinya kok terasa lama banget tidak sampai Purworejo. Saya pun sekali lagi berhenti dan bertanya pada seorang ibu dan penjual sayur. Kata mereka berdua sebentar lagi sudah sampai jalan raya. Oke lah, saya pun mau tak mau harus setuju dengan jawaban ini; "Sebentar lagi sampai."

Ternyata benar kata ibu dan abang sayur itu, tidak lama kemudian saya pun sampai di jalan raya. Tapi kok tidak sama dengan yang dibayangkan? Saya bayangkan akan ketemu jalan raya di daerah Bayan, tapi yang ini kok lain? Ada traffic lightnya segala. Padahal di Bayan tidak ada. Saya makin penasaran ini di mana sih? MasyaAllah..! Ini jalan lingkar Purworejo! Lumayan jauh dari Bayan! Pantas, perasaan kok lama amat gowesannya ngga sampai-sampai, sangat melenceng jauh dari perkiraan jarak dan waktu tempuh.

Saya nyasar lagi, ini bukan tujuan yang saya maksud.

Sambil menahan jengkel dan geli, saya menyusuri jalan linkar ini. Nah, kalau sudah sampai sini tidak perlu tanya-tanya ke warga, lha wong dulu waktu kuliah sering lewat sini kok. Karena sudah sedikit banyak tahu area ini, dan saya tahu nanti akan melewati banyak penjual es dawet, saya pun kembali bersemangat mengayuh sepeda di bawah terik mentari yang semakin lucu. Uhuy..!!!

Warung es dawet. Ya, katakan sekali lagi: warung es dawet!

No komen, yes minum.

Setalah saya pikir-pikir, dengan rusaknya software smartphone hingga tidak supportnya GPS di handphone jadul saya, ditambah nyasar tidak karuan, rupanya hal ini mengingatkan kembali masa kecil dahulu. Di mana bersepeda bukan suatu keharusan, tidak perlu bawa berbagai macam gadget yang kadang malah merepotkan. Masa kecil dahulu bersepeda adalah karena saya ingin dan karena saya suka. Akankah hal ini bisa terulang?

Kira-kira inilah rute yang saya tempuh. Peta ini saya ambil dari potongan-potongan Google Maps.



Monday 24 April 2017

Solo Ride: Parakan, 7 Januari 2017

Gowes sendiri kali ini sebenarnya merupakan janji pribadi bahwa saya harus bisa gowes ke SPBU Parakan yang terletak di luar kota arah menuju Wonosobo.

Start dari rumah di pagi hari, sepeda saya arahkan ke utara menuju Secang, kemudian ambil arah kiri menuju Temanggung. Dari rumah sampai Temanggung jalannya sudah menyediakan rute panjang menanjak, sehingga cukup menguras tenaga.

Sesampainya di Temanggung, rupaya tenaga sudah benar-benar terkuras banyak. Untungnya di sini terdapat suatu hutan kecil atau hutan kota yang bagus, saya pun berhenti untuk berfoto sambil istirahat sebentar.

Hutan Kota Temanggung

Kemudian saya lanjutkan kayuhan pedal. Kali ini tujuan saya adalah Rumah Makan Nikki. Meskipun istilahnya rumah makan, namun bangunannya tidak terlihat mewah, justru sederhana dan terasa welcome bagi pengunjung, jadi tidak ada kesan mahal yang didapat.

Rumah Makan Nikki, Temanggung

Setelah cukup kenyang dan tenaga terisi kembali, saya kembali mengayuh pedal menuju Parakan. Dari sini hingga Parakan bisa dibilang rutenya full of tanjakan landai, yah kira-kira 80% diisi tanjakan. Tepat sebelum memasuki Parakan sekali lagi saya berhenti sebentar untuk minum dan kembali memulihkan tenaga. Kalau tidak salah saya berhenti di sebuah tempat yang mirip sentra kuliner, tapi saat itu belum buka.

Ngaso lagi di sini, tepat sebelum memasuki Parakan

Begitu memasuki Parakan, saya langsung menuju ke RS Ngesti Waluyo, bukan mau berobat, tapi mengambil foto untuk dokumentasi perjalanan. Selain rumah sakit tersebut, saya juga memotret di lokasi jembatan tua dan di salah satu pertigaan yang ada rambu penunjuk arah ke Jakarta.

Foto di depan RS Ngesti Waluyo, Parakan

Jembatan tua Parakan

Sengaja ambil foto di sini biar kelihatan gowes jauh, padahal ngga..


Nah, dari sini sebenarnya perjalanan sudah semakin mendekati tujuan saya; SPBU Parakan. Tapi ternyata rute ini masih menyimpan sisa tanjakan yang lumayan bikin ngos-ngosan... Tapi mau bagaimana lagi, nanggung kalau mau balik arah pulang ke rumah. Sudah mau sampai juga, hajar bleh..!!

Sampai juga akhirnya di sini...

Selama di SPBU saya kembali beristirahat agak lama, terlintas juga ingin bablas ke Kledung Pass, tapi tidak ah, lain kali saja, badan sudah pegel-pegel ditambah mendung mulai menghitam. Akhirnya saya putuskan mengakhiri gowes ini sambil kembali pulang ke rumah.
Namun masih ada satu lagi landmark Parakan yang harus saya ambil fotonya, yaitu Pasar Legi yang merupakan pasar tradisional terbesar di Parakan.

Pasar Legi, Parakan

Dari pasar ini, pedal kembali saya kayuh menuju Temanggung dengan mengambil rute berbeda dari perjalanan berangkatnya, silakan lihat peta di bawah. Lantas selepas Temanggung sebelum Secang, saya berhenti di sebuah masjid untuk keperluan darurat, alias numpang ke belakang... Payah deh...
Di halaman mesjid tersebut ada warung angkringan, di situ saya memesan kopi. Setelah selesai ngopi, perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, eh, perjalanan ini saya lanjutkan kembali dengan tujuan akhir; pulang.

Ngopi di angkringan depan masjid


Catatan gowes kali ini

Titik terakhir perjalanan ini sebelum kembali pulang

Rute sepedaan ke Parakan.

Friday 10 March 2017

Jembatan Srowol: Rupanya sudah masuk musim panas, isn't it?

 

Minggu, 5 Maret 2017.
Padahal ketika kami bersiap-siap di salah satu mini market di daerah Menowo, Kota Magelang, cuaca masih sejuk, bahkan hawa dingin mampu menembus jersey yang kami pakai hingga menusuk tulang. Dingiiiiinn...

Namun hal itu hanya berlangsung di pagi hari saja. Menjelang siang, sang surya semakin beringas memancarkan sinarnya. Di awal perjalanan yang masih dingin dan sedikit berkabut lama-lama mulai terasa panas, peluh pun mulai membasahi badan dan wajah kami,

Apalagi perjalanan pulang yang sudah mendekati tengah hari ditambah rute pulang dominan rute menanjak landai, membuat gowes kali ini cukup menyiksa, ditambah jarak gowes yang jauh, yaitu 54 km. Sebenarnya jauh tidaknya jarak menurut saya sangat relatif. Bagi goweser dengan jam terbang tinggi tentu saja berbeda persepsi jarak tempuh dengan goweser pemula atau goweser hobi seperti saya.

Di tengah perjalanan pulang kami sempat berhenti di pos ronda, di sini Om Yoga membetulkan posisi sadelnya yang tidak tepat. Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk istirahat sebentar.

Kayuhan dilanjutkan menuju Permitan dan Pandansari. Kembali di sini kami harus berhenti karena matahari sangat terik bersinar. Kami behenti di emperan garasi yang ada atap peneduhnya, yang rupanya adalah kost putri.

Berikut beberapa dokumentasi 'petualangan' kecil ini:


Persiapan kami di salah satu mini market di daerah Menowo, Magelang. Sarapan sekedarnya dari pada perut kosong. Foto by Om Yoga.
 
Perjalanan diawali dengan hawa dingin dan kabut tipis yang menemani kami.

Rute berangkat didominasi trek mulus landai menurun, membuat kami mudah mengayuh sepeda cukup ngebut.

Bertemu sesama goweser meskipun adik-adik sangatlah menyenangkan.

Sepeda Om Doni dicuci gara-gara kotoran burung.

Lomba motret model.

"Ini anak lagi ngapain ya?"

Makan soto untuk mengisi kembali energi yang sudah kosong.

Di sini lho, Soto Mbah So di Kota Mungkid kami bersantap ria. Foto: google sreet view.

Membetulkan posisi sadel sepeda Om Yoga, sambil istirahat di pos ronda. Foto by Om Doni.

Istirahat lagi sambil ngiyup di emperan garasi kost putri.

Data gowes by Strava.

Data gowes by Strava.


Sunday 12 February 2017

Tujuan Akhir: Museum BPK RI, Magelang. 11 Feb 2017.

Alhamdulillah.. Ngadep komputer lagi, ngeblog lagi, bingung lagi.. Iya, seperti biasa, memulai adalah hal tersulit dan membingungkan. Termasuk memilih rangkaian kalimat untuk mengisi artikel blog kali ini, meskipun isinya masih tentang persepedaan di seputar Kota Magelang. Jadi apapun yang terjadi kegiatan gowes harus tertuang di artikel blog. Seperti kata Freddie Mercury, "The show must go on..", yang artinya kurang lebih "mangan ora mangan sing penting ngumpul". Ngawur....

Okey let's go, Gentlemen..!!

Pagi itu kami berlima mengadakan ritual gowes di seputaran Kota Magelang saja. Kami berkumpul di mini market di daerah Kupatan. Kira-kira pukul 07.30 WIB aku dan Om Yusuf datang paling awal, tidak lama kemudian nampak Om Prast mendatangi lokasi. Yang paling datang terakhir yaitu Om Noor, karena harus mengantar anak ke sekolah dulu. Sementara Om Doni nyegat kami di depan GOR di Sanden. Sebelum berangkat, kami mengecek sepeda hanya sekedar memastikan bahwa sepeda layak digowes.

Cek sepeda Om Noor.

Setelah yakin oke dan terkendali, kami pun mulai bergerak menuju arah barat sampai di aliran sungai Kali Bening. Kemudian belok kiri melewati Perum Korpri, dan terus saja hingga sampai di depan GOR. Di sini Om Doni sudah menunggu. Rupanya ada bapak-bapak pesepeda yang sedang istirahat di situ. Kalau tidak salah para bapak tersebut dari daerah Pakelan.

Para goweser senior dan Om Doni tampak jauh di belakang. Elu sih Don, pose jauh amat...

Lalu kami berlima melanjutkan kayuhan pedal ke arah selatan sampai Kampung Dumpoh, dekat Universitas Negeri Tidar. Kemudian belok kanan sampai ke jembatan gantung Sungai Progo. Rupanya jalan menuju jembatan ini cukup sempit dan menurun curam, jadi harus ekstra hati-hati kalau tidak ingin kepleset.

Jalan sempit dari Kampung Dumpoh menuju jembatan gantung Kali Progo.

Tim Ngepit melintas jembatan. Om Doni ketutup pohon di belakang. Elu sih Don, pose jauh amat..

Jembatan gantung Kali Progo di Dumpoh dilihat dari sisi barat sungai.

Narsis sebentar setelah melewati jembatan. Ki-ka: aku, Yusuf, Doni, Noor. Foto by Om Prast.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju desa Mlagen. Di sini terdapat satu tanjakan yang lumayan dahsyat, semua gear ringan terpakai dengan lancarnya. Maklum, kami hanya goweser level hobi, bukan atlet. Hehehe... Dan karena penasaran dengan kondisi tanjakan ini, maka aku pun cek di Strava. Hasilnya adalah angka-angka seperti di caption foto berikut. Sebetulnya aku tidak begitu paham hasil data tersebut, terutama angka 'grade', opo to iki? Kalau ada di antara pembaca yang paham monggo silakan share ilmunya di kolom komentar...

Tanjakan di Desa Mlagen. Foto by Om Doni, data by Strava.

Narsis lagi selepas tanjakan Mlagen, sekaligus istirahat. Capek brooo...

Tanpa berlama-lama istirahat selepas tanjakan Mlagen, kami lanjut gowes menuju Desa Plikon. Dari sini jalanan didominasi turunan hingga sampai jalan raya Magelang - Bandongan. Sesampainya di jalan raya ini kami belok kiri menuju arah kota. Sebelum masuk kota, sekali lagi kami menyeberang Kali Progo dan dihadapkan dengan satu tanjakan yang lebih dahsyat, yaitu tanjakan Meteseh. Wis jyan tobat tenan... Belum juga hilang capeknya, kami sudah harus gowes ngos-ngosan lagi. Duh Gusti, paringono kiyat... Melibas tanjakan ini gear sepedaku aku pasang di posisi paling ringan, baik gear depan atau belakang. Dengan kombinasi depan-belakang 22-32 rasanya masih berat mengayuh pedal, aku cuma bisa berkhayal saat itu sepedaku terpasang gear 22-34, pasti akan lebih enteng. Di tanjakan ini Om Noor dan Om Prast sudah jauh di depan, sementara kami bertiga tertinggal di belakang.

Data by Strava.

Karena tenaga sudah terkuras banyak, kami pun menuju warung makan. Kami memilih warung makan sop snerek Bu Atmo karena cukup dekat dari posisi kami saat itu, tentu saja di samping rasanya yang memang terkenal enak dan gurih. Kami semua ditraktir Om Noor. 

Sampai di depan warung Bu Atmo.

Siap-siap menyantap sop snerek dan es beras kencur. Foto by Om Yusup.

Setelah kenyang, kami lanjut menggowes. Dari warung ini kami menuju Museum BPK RI yang masih satu komplek dengan Karesidenan Kedu. Lebih tepatnya museum tersebut berada di sini. Memasuki area museum, kami menggenjot sepeda memutari halaman kemudian memarkir sepeda di sisi utara. Di sini kami disambut ramah petugas museum yang kami malah lupa menanyakan siapa nama beliau. Obyek pertama yang menarik perhatian kami adalah mobil Volvo 960 GL yang terparkir dengan gagahnya di salah satu sudut museum. Menurut petugas yang menemani kami, mobil keluaran sekitar tahun 1994 ini dulu adalah milik Bapak M. Jusuf, mantan Ketua BPK. Kondisi mobil ini masih sangat bagus, menunjukkan bahwa mobil ini terawat dengan baik. Bahkan - kalau tidak salah - ketika aku mengintip interiornya tampak samar odometernya baru menyentuh angka 5.250an kilometer, padahal umur mobil ini sudah 23 tahun. Wow..!!


Kami disambut ramah oleh para petugas Museum BPK RI.

Ganteng amat ni mobil... Foto by Om Doni.

Petugas menemani kami sambil bercerita perihal mobil Ketua BPK RI.

Setelah puas memandangi Volvo hitam itu, kami menuju area pameran foto Magelang tempo dulu. Kami masuk ke suatu ruang di mana banyak foto yang mampu bercerita tentang kondisi Magelang pada jaman dahulu. Seingatku, foto tertua adalah foto kondisi Magelang tahun 1920an. Sayang, di sini ada larangan tidak boleh memotret, jadinya aku tidak berani memotret ulang foto-foto tersebut.


Nonton pameran yuuukk...

Foto-foto Magelang tempo doeloe.



Dari ruang pameran foto ini kami memasuki ruang lain. Di sini tersimpan beberapa bukti sejarah BPK RI, termasuk satu buah radio merk Sony pemberian Duta Besar Jepang kepada M. Jusuf ketika menjabat Ketua BPK.


Radio merk Sony jaman dulu, radio yang aku yakin sudah berteknologi canggih di jamannya.

Tanpa terasa hari sudah semakin siang. Maka kami pun memutuskan mengakhiri gowes kali ini. Namun tidak lupa sebelum meninggalkan museum, kami berpose sebentar di depan museum. Namanya juga artis....


Narsis lagi. Ki-ka: Yusuf, Noor, Doni, Prast, aku.

Berikut rangkuman gowes kali ini menurut data dari Strava.